SEKILAS CUTI

(Image courtesy of businesstody.in)

Cuti adalah hak pekerja, seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), Pasal 79 ayat (2) huruf c UUK menyatakan bahwa: “Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.”

Di perusahaan tempat saya bekerja, hak cuti tahunan yang dapat dinikmati pada tahun berjalan adalah sebanyak 12 hari kerja. Hingga bulan Juni pada tahun berjalan, sisa hari cuti tahun sebelumnya yang belum digunakan, masih menjadi hak pekerja, jadi lumayan kalau cuti tahun lalu masih bersisa.

Bekerja adalah kewajiban, dan cuti adalah hak. Terkadang dalam menggunakan hak, didalam hati pasti timbul rasa sungkan dan juga pikiran akan pekerjaan yang belum selesai, masih kurang berkontribusi dan kinerja yang masih belum dapat dibanggakan. Dan pertimbangan itu pulalah yang menjadi tambahan booster Pak Bos untuk memberi ijin permohonan cuti saya. Saya selalu deg-degan dalam setiap pengajuan cuti panjang. Walaupun pada akhirnya permohonan cuti disetujui, bukan berarti pekerjaan saya sudah sempurna, hanya saja masih diberi rejeki dan kesempatan melalui Pak Bos hehehe.

Cuti selama 5 hari, bagi kultur perusahaan saya termasuk lamaaa. Namun bagi perusahaan suami, itu adalah hal biasa karena sudah terbiasa dengan istilah block leave. Karena kami cinta traveling, kami sangat menghemat cuti, kami sangat jarang mengambil cuti harian yang pendek-pendek, maupun ijin tidak masuk kerja. Dan lagipula keadaan kami kebetulan mendukung karena jarang ada keperluan hingga perlu cuti pendek atau ijin tidak masuk kerja.

Bagi semua pekerja, mengajukan cuti ke atasan termasuk hal yang menguras adrenalin. Butuh banyak-banyak berbuat sebagai anak manis dan berdoa tentunya untuk memuluskan niatan cuti. Semenjak pengajuan cuti dapat dilakukan melalui portal web internal, tiada hari tanpa mengecek portal tersebut hanya untuk memastikan sudah di approve kah permohonan cuti saya?. Dan setiap saat pula suami nanya, “Gimana cutimu?” jawaban saya hanya “Belum di approve”, pasti selanjutnya muncul pertanyaan kekhawatiran “Trus gimana?” saya pun cuma bisa jawab “Sabar…”.

Beda saat saya cek portal dan hasilnya cuti disetujui, legaaa rasanya. Yang pertama saya kabari pasti suami. Langsung enteng rasanya, berani bayangin di Kuala Lumpur mau transit makan apa, di Doha mau city tour kemana aja, dan di Istanbul mau ngapain aja.

(Images courtesy of ngadverts.com)

Cuti adalah hal berharga, bukan hanya pekerja, bahkan bagi pengusaha sekalipun, sedikit melepas rutinitas sehari-hari dan beralih sejenak ke kegiatan yang sama sekali berbeda, pastinya sangat membahagiakan. Bangun pagi vs bangun siang, berangkat pagi vs berangkat suka-suka, laporan vs posting instagram, kerja vs jalan-jalan, ngirit vs sedikit hura-hura (tapi tetap sesuai budget). Sekilas terlihat lebih menyenangkan option kedua. Tapi kenyataannya option kedua tidak akan bisa dinikmati tanpa menyelesaikan option pertama, ibarat kata, kalau mau jadi anak SMP harus lulus SD dulu. Kalau mau senang-senang, harus berusaha dulu, laksanakan kewajiban sebelum melakukan hak. Pekerja seperti saya sudah terbiasa kerja dulu 5 hari baru libur 2 hari. Bisa juga sih dibalik libur 2 hari lalu kerja 5 hari. Tapi proporsinya tetap lebih banyak kerja daripada liburnya.

Terlebih di era gadget saat ini, bahkan diluar jam kerja, smartphone saya seringkali berbunyi, banyak hal terkait pekerjaan yang tidak dapat dilewatkan, Bahkan hanya sekedar merespon group (walaupun dengan jawaban singkat dan padat), belum lagi bila pesannya berbunyi tentang kinerja saya yang kurang bagus. Pada akhirnya membuat pikiran terbagi antara nervous dan menyiapkan excuse mengapa begini mengapa begitu. Akan sangat bersyukur bila semua baik-baik saja terutama pada saat akan mengajukan cuti.

Pada saat cuti, karena saya pengguna gadget tunggal, dan tetap aktif bergadget, maka saya pun tetap siaga dengan kantor melalui gadget. Sewaktu-waktu bila dibutuhkan (asal bukan kebutuhan untuk hadir), saya tetap responsif. Bisa jadi kadang fast respon ataupun slow respon, masih mirip dengan keseharian saya lah.

Masih dalam konteks jalan-jalan atau traveling. Untuk mengajukan cuti kedua, ketiga dan seterusnya, saya biasa memberi tenggat waktu yang lumayan lama, minimal 3 bulan, ingat ya minimal. Jadi kalau tidak kepepet, ya tidak tiap bulan cuti untuk jalan-jalan, bisa-bisa Pak Bos lebih gampang nolak daripada approve-nya. Selain itu terlalu sering traveling bisa membuat kantong bolong, hehehe.

Ayo cutiiii !!!

Comments